Translate

Kamis, 24 Mei 2012

TogaDuka

Karya : Ismira yanti 

       Aku duduk terpaku di hadapannya, kami saling memandang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Detik berlalu dan menit pun mengikutinya.Tetapi, aku tetap tak beranjak pergi.Waktu terus berlalu, akhirnya terpaksa harus kukatakan maksud dan tujuanku padanya.Kutarik nafas dalam-dalam dan kukeluarkan melalui mulut.Em….mmm, suaraku yang parau menahan sedih memecahkan keheningan yang ada.Lalu dengan kedua tanganku kurengguk dia dan kudekatkan pada wajahku. Sambil berkata “Sorry bro, kamu harus tamat di tanganku sekarang juga”
        Plakkkkkkkkkkkk …… bunyi celengan ayam-ayam kesayanganku yang baru saja kupecahkan di lantai kamar kostku, yang kepingannya senada dengan hancurnya hatiku yang harus merelakan celengan kecil berwarna merah tua yang telah setahun kumiliki dan selalu kuisi walau aku harus makan seadanya sebagai kosekuensi uang makan yang kukurangi.
       Kupunguti uang lembaran sepuluh ribu dan uang seribuan serta kukumpulkan uang receh milikku dengan sangat berat hati, diiringi dengan menetesnya air hangat dari kedua pelupuk mataku. Aku teringat kedua orang tuaku di kampung melalui dua lembar surat yang dikirim kemarin dan sengaja dititipkan kepada saudara di pelabuhan.
   
         Assalamu’alaikum wr.wb. dan salam sayang buat anakku.

          Ananda yuli yang Ayah dan ibu banggakan,

    Bagaimana keadaan ananda di kota dan kuliah ananda di sana? Semoga ananda sehat dan semua lancar, serta selalu dalam lindungan Tuhan yang Maha Kuasa. Ananda maafkan Ayah dan Ibumu ini karena untuk semester ini, Ayah dan ibu belum bisa mengirim uang untuk memenuhikebutuhan ananda di sana. Ananda jangan kecewa dan jangan berburuk sangka, tiada niat Ayah dan ibu untuk melepas tanggung jawab sebagai orang tuamu. Tetapi, ini semata-mata karena keuangan keluarga kita yang memburuk akibat gagal panen, ditambah adikmu Ali yang mulai mendekati ujian nasional di SMP. Jadi, Ayah dan ibu harap ananda mengerti dengan keadaan ini.
    Yuli anak kebanggaan Ayah dan ibu, kami harap ananda tidak berkecil hati dan jangan mengkhawatirkan kami di sini, serahkan semuanya kepada yang Maha Kuasa.
    Ananda yuli sekali lagi, maafkan Ayang dan ibu. Tetapi, kami berjanji secepatnya akan mengusahakan uang untuk ananda. Karena Ayah dan ibu tahu kalau akhir-akhir ini ananda membutuhkan uang yang banyak untuk menyusun skripsi.
    Ananda sekian dulu surat dari Ayah dan ibu, harap ananda menjaga kesehatan agar cepat menyelesaikan skripsi dan segera lulus, sehingga dapat menjadi guru yang baik karena ananda bukan hanya menjadi kebanggaan Ayah dan ibu tapi, juga menjadi kebanggaan kampung kita.
                                                                                                              Wasalam,
           
                                                                                                         Orang tua ananda.

        Ya Allah, cobaan apa ini? Mengapa di saat hamba membutuhkan uang yang banyak, orang tua hamba malah gagal panen, apa salah hamba ya Allah. Eks….ssss,     Betapa sesaknya dadaku berusaha menahan tangis yang ingin kutumpahkan di muka bumi ini. Tapi, sengaja kupendam agar tidak terdengar oleh telinga-telinga yang melintas di depan kamar kostku, yang notabenenya sangat ramai menjelang magrib tiba. Rasa lapar yang kurasa, hanya kututupi dengan nasi dingin dan garam dapur yang membuatku semakin terpuruk dalam keaadaan yang menyedihkan sampai aku terlarut dalam pelukan malam di lantai kamarku yang hanya dilapisi terpal plastik yang super dingin di musim panas.
       Dalam keadaan setengah terjaga, aku mendengar teriakan anak-anak asramaku berseru sambil berkata “Makan bareng yuk, saya punya ikan goreng nih” yang kemudian disusul oleh teriakan selanjutnya “Ayo! Siapa takut, saya juga punya sayur nih, saya punya nasi, saya punya sambal”. Semuanya berseru untuk menyumbangkan makan malam bersama.Teriakan yang tidak asing lagi bagiku sebagai penghuni kost-kostan.Itu adalah tradisi anak-anak kost menjelang makan malam tiba.Mereka saling memaggil untuk makan bersama, saling berbagi makanan yang mereka punya layaknya sebuah keluarga dan teman seperjuangan tentunya.Ini dilakukan sebagai wujud solidaritas sesama anak kost yang kebanyakan merupakan para perantau dalam misi menuntut ilmu.Tetapi, aku tetap saja tidak berkelik dari posisiku dan berusaha untuk tidak mempedulikan mereka dengan menutup kedua telingaku dengan tangan kemudian melanjutkan ritual menangis semalam.Bukan aku tak mau atau sombong, bukan pula karena aku tak lapar, tetapi rasa malu dan gengsi yang mendera.Sebab, malam itu aku tak punya makanan untuk dibagi dan keadaan itulah yang kini menghantuiku dan membatasi ruang gerakku.

                                                                           ***
             Cahaya matahari yang bersinar masuk ke dalam kamarku melalui sela-sela daun jendela yang menghadap ke timur, membangunkannku dari tidur panjangku sejak kemarin sore.“Astagfirrullah… aku kesiangan!”Segera kutarik handuk berwarna biru muda di sisi ranjang miniku dan bergegas menuju kamar mandi yang sudah sepi dari penghuni kost lainnya yang sudah berangkat sebelum pukul 08.00 pagi. Kuguyur air di tubuhku yang terlihat agak kurus karena sering begadang sampai larut malam untuk menyelesaikan skripsiku dan tentunya tekanan batin dan stres yang mulai menghantuiku sejak kedatangan surat dari kedua orang tuaku di kampung. Hu…hu…hu, dingin air tak meghalangiku untuk membersihkan diri yang mulai kucel di pandang mata, dengan tergesa-gesa aku kembali ke kamar, berpakaian, lalu dengan rambut yang kusisir seadanya aku langsung berlari menuju kampus yang terletak ± 500 m dari asrama tempat tinggalku.
           Kuberhenti sejenak untuk memperbaiki posisi sepatuku yang hampir terlepas karena berlari “Yuli kamu tidak apa-apa?” terdengar suara dari belakangku yang justru mengagetkanku, ternyata itu hanyalah seorang kenalan yang sekedar menyapa dan memamerkan senyum termanisnya lalu bergegas pergi.
           Kucoba mengatur napas dan merapikan pakaianku ketika sudah berada di depan ruangan dosen yang membimbingku selama ini dalam menyelesaikan skripsi. Kuketuk perlahan pintu ruangan itu dan terdengar suara yang mengizinkan aku masuk.Aku dapat melihat dengan sangat jelas, dosen dengan kacamata minus tebal di atas hidungnya sudah menungguku. Dag…dig…dug, jantungku bergetar dengan cepat menanti dosen tua itu berbicara sampai keringat dingin mulai mengalir di seluruh tubuhku sehingga membuatku dapat merasakan dinginnya suhu rutan yang banyak ditakuti orang,.membuatku dapat mendengar suara detak jantung dan hembusan napasku sendiri sehingga aku merasa tidak nyaman untuk berlama-lama di ruangan itu.
 
                                                                        ***

             Seminggu telah berlalu dengan langkah pasti dan senyum yang terus mengembang di bibirku, aku memasuki area kampus dengan kemeja putih rapi dan rok lipit berwarna hitam yang kupadukan dengan sepatu tantofel warisan ibuku. Denga langkah yang kupercepat, aku menuju gedung tempat mahasiswa akan diuji tentang skripsi dan aku adalah salah satu dari mereka. Sepanjang perjalanan bibirku yang dilapisi dengan pewarna merah muda tak henti-hentinya berdoa semoga semuanya berjalan dengan lancar.
Sepanjang perjalanan itu, pikiranku melayang  ke beberapa minggu lalu. Sungguh luar biasa celengan ayam-ayam kesayanganku mampu mengantarkan diriku yang berhati kecil ini meraih mimpi yang didambakan oleh kedua orang tuaku.Teringat betapa ingin Ayahku menginjakkan kaki di kampus tempat akau menuntut ilmu.Hal itu beliau sampaikan pada malam sebelum aku berangkat merantau dulu.Betapa bersemangat dan membaranya keinginan tersebut bahkan wajah tampan yang mulai terkikis usia itu seolah lebih muda dan berseri-seri karena luapan bahagia bahkan ibuku tak kuasa membendung air matanya karena turut bahagia.
             Tepat pukul 13.15, aku keluar dari ruangan ujian denganperasaan lega, seakan-akan semua bebanku terangkat dan kutinggalkan di ruang ujian.Beban atas harapan dan pengorbanan kedua orang tuaku.
            Ucapan selamat terus mengalir dari rekan-rekanku sebab skripsiku telah ditandatangani oleh para penguji dan turut mendapat pujian yang tidak pernah terlintas di benakku. Dengan perasaan lega, aku mengucap syukur pada Allah SWT dan tanpa membuang-buang waktu, aku langsung menghubungi kedua orang tuaku untuk menyampaikan berita bahagia ini sekaligus memberikan kejutan untuk mereka agar mereka dapat mendampingiku di saat aku diwisuda sebagai lulusan terbaik dari program studi pendidikan matematika dengan hasil yang sangat memuaskan dan masa kuliah selama tiga tahun enam bulan saja.
           Semua gaya dan ekspresi kebahagiaan mereka terbayang di pelupuk mataku ketika aku mulai menekan tombol-tombol di hpku. Betapa bahagianya Ayahku sambil mengucap puji syukur, ibuku yang berlinang air mata bahagia merangkul adik-adikku.Dan ekspresi adik-adikku yang melompat saking bahagianya memiliki kakak seorang sarjana dan lulusan terbaik.Bahkan, terbayang para tetangga yang mengarakku keliling kampung layaknya seorang pengantin baru.Semua terlintas dengan senyum bahagia yang khas dari mereka masing-masing.
          Tapi harapankutidak sesuai dengan kenyataan yang ada, bukan aku yang memberi kejutan tapi, aku yang terkejut karena ibu menyuruhku untuk segera pulang ke kampung, padahal selama hampir empat tahun, Ayah dan ibu tidak pernah mengizinkan aku untuk menginjakkan kaki di kampung halamanku sebelum aku sukses.
           Akhirnya sore itu juga, aku putuskan pulang ke kampung.Setelah selesai menelepon ibuku, aku bergegas ke kamar kostku untuk berkemas. Dibantu dengan teman-teman yang satu asrama denganku, aku mengemas barang-barangku seadanya karena aku yakin akan kembali lagi minggu depan bersama kedua orang tuaku untuk menghadiri acara wisuda. Aku  pun berpamitan dengan anak-anak kost dan bapak pemilik asrama, serta mengabarkan bahwa aku akan pulang kampung untuk menjemput kedua orang tuaku.

                                                                     ***

         Belum juga matahari bangun dari peraduaannya, kapal yang membawaku pulang sudah bersandar di pelabuhan.Perlahan kulangkahkan kakiku di tanah kelahiranku yang telah lama kutinggalkan. Jam menunjukan pukul 07.00 pagi. Uhhhhh.... kuhembuskan napasku. Lama sudah aku menunggu tapi tak tampak jua, orang-orang yang kuharapkan menjemputku pulang setelah hampir empat tahun aku pergi merantau di negeri orang. Hatiku bertanya-tanya mungkin Ayah dan ibuku lupa aku akan pulang hari ini. Kulirik kembali jam tangan di lengan kiriku, tak terasa sudah tiga jam aku menunggu.
               Akhirnya kulangkahkan kakiku keluar area pelabuhan dan berjalan menuju tempat angkutan umum beroperasi. Kupilih angkutan berwarna merah maron karena seingatku angkutan itu selalu melintasi perkampungan di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan aku terus memandang keluar melalui jendela angkot, hatiku begitu tersentak melihat besarnya perubahan yang terjadi di wilayahku selama aku tinggalkan.Sepanjang mata memandang, bangunan beton berdiri di hampir seluruh ruas jalan yang kulalui.Tidak ada lagi persawahan dan ladang masyarakat, hamparan hijau rumput serta binatang ternak. “Minggir pak. . .!!!!” kataku, menunjukan bahwa aku telah sampai di tempat tujuan dan menyadarkanku dari keterkejutan .Kuserahkan dua lembar uang lima ribuan dan angkot itu pun kembali melaju.
           Kuhirup udara kampung halamanku dalam-dalam lalu kutahan kemudian kuhembuskan melalui mulut, hatiku bahagia dan berdebar-debar menanti reaksi warga kampung melihat aku kembali. Kujatuhkan tas dan koper dari genggamanku, lalu aku berlari sekuat tenaga.
Kain putih di halaman rumah orang tuaku membuat jantung berdebar lebih kencang dan air mataku tak henti-hentinya mengalir, seakan-akan jantungku yang berdebar kencang berhenti seketika, waktu berhenti di hadapanku dan kakiku tak mampu lagi menyokong tubuhku yang seolah tak bertulang, melihat apa yang ada di depan mataku yang mulai berkaca-kaca.
       “Ayah. . . . Ayah. . .!!!!!
        Bagun Ayah, Yuli pulang yah….!!!!!
          Bangun yah, ayah bangun….., Ayah sudah janji  mau lihat Yuli diwisuda….Ayah. . ., “kuguncangkan tubuh kaku yang terbalut kavan itu tetapi tubuh itu tidak bereaksi, kuteriak sekencang-kencangnya dengan sisa tenaga yang kumiliki, “Ayah…..!!!! Ayah bangun yah, Yuli sayang Ayah, Yuli … Yuli … ekssssss Ayah… yah kenapa nggak nunggu Yuli yah? KenapaAyah?”
Waktu terus saja berlalu dan tak mau berhenti untuk turut berduka dan menangisi keadaan ini.Ia terus saja berbagi dengan sahabat sejatinya yaitu siang -malam dan tak satu pun dari mereka yang mau menghiburku, maupun berbagi cerita denganku. Mereka hanya mampu berkata melalui semilir angin yang menerpa “Yang lalu biarlah berlalu karena waktu yang akan menyembuhkan luka di hati”.Ya, beberapa hari lalu, Ayahku telah di makamkan tetapi duka dan luka di hati ini tetap saja mengeluarkan darah dan perih yang menyiksa dan tak semudah itu melupakanya.
             Melalui adikku, udin. Aku mengetahui bahwa sudah dua tahun Ayahku menderita komplikasi penyakit antara diabetes, rematik, dan TBC tetapi Ayah tak ingin berobat ke dokter karena alasan biaya. Akhirnya, keluargaku hanya mengobati Ayah dengan memanggil dukun kampung dan meminum ramuan-ramuan tradisional.
          Satu hal yang tidak aku mengerti, selama dua tahun Ayahku sakit, tak ada satupun yang mengabari aku.Mereka semua menutupinya dariku dengan mengatakan mereka baik-baik saja melalui surat-surat yang mereka kirim dan itu membuatku semakin terpukul.
Waktu tak peduli padaku.Oleh karena itu, aku harus menaklukannya dan membuat Ayahku bangga. Aku bertekat kembali ke kota dan mengikuti acara wisuda yang menjadi impian mereka sejak dulu yang harus tetap kuwujudkan. Walau, kedua orang tuaku tak dapat mendamping tapi kuyakin doa Ayah dan ibuku tercinta pasti setia menemani dan akuyakin itu.
             Ibu tak dapat menemaniku ketika aku diwisuda sebab sepeninggalan Ayah, ibu jatuh sakit dan tak mau diajak bicara, apalagi untuk bepergian jauh.Beliau hanya duduk termenung mengenang Ayahku setiap hari.Aku pun tak ingin menambah bebannya lagi.Akhirnya, kuputuskan untuk mewujudkan impian Ayahku seorang diri.
             Lusa, dua peristiwa yang sangat penting dalam hidupku akan berlangsung dan keduanya saling bertolak belakang, hatiku gundah gulana menentukan pilihan, haruskah aku bahagia karena berhasil diwisuda dengan predikat yang baik dan berhasil impian kedua orang tuaku ataukah aku harus bersedih karena hari ini diselenggarakan hari ketujuh untuk  Ayah yang sangat kami cintai.

                                                                                  ***
              Aku duduk di bangku terdepan seorang diri dengan pakaian kebesaran lambang keberhasilan mahasiswa, tentu dengan rasa iri di hati melihat mereka yang didampingi kedua orang tua mereka, dengan wajah yang tak henti-hentinya menyunggingkan senyum terbaik dan termanis saatmenerima ucapan selamat.
           Kurengguk togaku setelah menerima ucapan selamat dari rektor .Kucium serta kuteteskan air mata di toga tersebutsebagai wujud persembahanku bagi Ayah. Kukatakan pada dunia, Ayahku adalah Ayah yang paling hebat.
      Ayah semoga engkau tersenyum di sana melihat keberhasilanku hari  ini. Terima kasih !!!

                                                                                Tamat
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar